Membincangkan Literasi Untuk Kesejahteraan

Pengantar Diskusi Literasi pada kegiatan Mappuasaki’, Kamis, 16 Mei 2019 di Taman Kota Enrekang

Di dalam masyarakat informasi, arti ketinggalan informasi ini rupanya sepadan dengan illiterate (buta aksara). Karena itu, ‘sakit’ literasi hanya dapat disembuhkan bila kita berusaha menyegarkan diri dengan beragam informasi. Ibaratnya, literasi adalah vitamin sekaligus suplemen untuk mengarungi kehidupan yang serba multimedia. Karena itu persiapan untuk menghadapi era yang seperti ini, haruslah diformulasikan melalui penguatan peran lembaga pengetahuan.

Jika lembaga pengetahuan seperti perpustakaan dapat diidealkan perannya, tentu akan menjadi modal yang baik. Tinggal di dalamnya memfasilitasi persitiwa knowledge sharing, baik melalui aktivitas belajar maupun berkegiatan di perpustakaan. Komitmen ini dapat dimulai dari masing-masing penentu kebijakan dimana perpustakaan beroperasi. Misalnya Perpustakaan Desa lewat Kepala Desa, peran literasinya diarahkan pada aksi pemberdayaan masyarakat.

Berbicara literasi di dalam konteks perdesaan memang belum jadi fokus. Kemungkinan masih jadi jargon, semacam belum punya daya kejut untuk dipikirkan masyarakat desa. Di suatu desa di Enrekang, orang mungkin berkilah karena kebutuhan bacaan saja belum memadai atau bahkan belum masuk di sana. Jadi pikirnya, alih-alih bicara literasi, untuk terakses dengan bahan bacaan saja belum ada. Jika begitu, siapa yang patut memikirkannya?

Sementara isu literasi hari ini dimaknai lebih dari sekedar membaca semata. Karena literasi dijadikan sebagai instrumen untuk pemberdayaan, menuju kondisi masyarakat yang sejahtera lewat serapan pengetahuan. Maka dari itu, suatu daerah haruslah menciptakan ekosistem literasi yang menopang hal itu. Artinya kebutuhan akan akses informasi dan pengetahuan dapat dirasakan masyarakat, jika buku maupun internet tersedia di perpustakaan desa.

Tentu diharapkan, manakala suatu lingkungan telah terjangkau internet, di sana akan muncul anak muda yang melek teknologi informasi. Jika ia berada dalam keluarga yang punya kemampuan memiliki perangkat atau lingkungan yang menyediakan internet (gratis) semisal di Perpustakaan, maka anak-anak akan tumbuh sebagai digital native. Mereka yang lahir saat internet telah familiar, kecenderungannya akan menyentuh dunia digital. Karena itu, digital native adalah naluri kita yang muda atau anak-anak yang sedang kita bimbing.

Keniscayaan digital pun sudah seharusnya dilekatkan pada organisasi atau lembaga pemerintah. Saat yang sama digital mastery (kepemimpinan digital) hendaknya menjadi budaya organisasi. Kemampuan tersebut dibutuhkan untuk memimpin layanan berbasis digital, dan menciptakan layanan yang efisien dan efektif.

Begitu pun dengan komunitas-komunitas muda yang berdiri, mulai dari skala desa seperti Karang Taruna, atau lembaga kepemudaan macam KNPI, HPMM dan lainnya, dapat memanfaatkan digital sebagai instrumen kreatif. Mereka pun dapat berperan menjadi fasilitator untuk rekan-rekannya menciptakan generasi millenial yang kreatif dan berpengetahuan.

Kegandrungan terhadap internet dapat membawa hasil produktif bila anak muda Enrekang (generasi millenial) memanfaatkannya dengan positif. Hal ini sudah dibuktikan dengan anak muda yang berhasil membuat platform digital di tempat lain. Tinggal kita menyiapkan infrastuktur pengetahuan yang memadai dan iklim yang kondusif untuk generasi milineal untuk melakukan inovasi. Dan hal ini dapat kita mulai dengan membangun ekosistem literasi bersama kawula muda Enrekang.

IMG-20190516-WA0016

Literasi Bergerak dari dan untuk Warga

Arti literasi kini melampaui apa yang semula dipahami dengan keberaksaraan. Literasi pun menjadi suatu istilah yang dapat memasuki beragam sektor sepanjang terkait pengembangan kemampuan atau skill. Karena itu, dimana proses pembangunan manusia dilakukan, maka literasi pun perlu dihadirkan.

Jika melihat kondisi saat ini, literasi kita memang masih dianggap kurang. Status itu tentunya memantik kita untuk bergerak melalukan ikhtiar. Isu literasi sendiri, dalam beberapa tahun ini cukup antusias digerakkan warga. Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan moda transportasi sederhana, melakukan kegiatan berbagi bacaan. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain membawa buku. Demikian pula tujuan dari perpustakaan keliling.

Semarak literasi itu umumnya berangkat dari warga dan dilakukan di akar rumput. Hal ini menandakan adanya upaya masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membangun budaya membaca. Bahkan tidak hanya terpaku pada ajakan membaca, di antaranya sudah ada yang menjadikan membaca sebagai stimulasi untuk membuat produk dan karya. Literasi yang seperti itu tak lagi sebatas mengeja aksara, tapi menjadi pandu untuk pengembangan diri dan berkreasi.

Karena gerakan ini bergerak di akar rumput seperti pedesaan, maka di sana pun lambat laun tersentuh sebuah kesadaran baru. Pengaruhnya mungkin tidak seprogresif isu-isu seperti kesehatan dan pangan, namun literasi relevan dengan soal-soal demikian. Dan manariknya dari waktu ke waktu muncul banyak relawan yang peduli terhadap literasi desa.

Di tingkat nasional, kebijakan literasi desa mulai digulirkan dengan Permendes 2019 yang membuka prioritas dana desa untuk pembangunan perpustakaan desa, taman bacaan, dan pengadaan bahan bacaan. Karena itu, tak ada lagi kendala bagi pemerintah desa untuk membangun infrastruktur pengetahuan untuk peningkatan SDM desa. Tinggal komitmen kepala desa dan partisipasi warga untuk mendukung pembangunan perpustakaan/taman bacaan yang penting diperhatikan. Sebab ternyata masih ada saja alasan untuk tidak memperhatikan literasi desa.

Jauh daripada itu, literasi desa sudah sepatutnya didorong para tokoh-tokoh pendidikan dan literasi di desa-desa. Sebab hadirnya pendidikan informal di masyarakat, itu menunjukkan adanya ruang bersama yang bisa diakses warga kapan pun ia sempat datang belajar (di perpustakaan).

Kala literasi desa dapat bertumbuh, maka potensi kreatif warga pun siap dinanti. Sebab sudah menjadi rumus bahwa ide dan pengetahuan merupakan modal untuk melakukan kreatifitas. Dengan pengetahuan, warga dapat melihat perubahan dan melakukan perubahan yang lebih baik.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *