Seperti Bias di Sela Hujan, Kemah Pustaka Adalah Pelangi di Dunia Literasi
|Catatan singkat tentang kegiatan Kemah Pustaka 2020 bertajuk “Konservasi” di Taman Wisata Mendatte Park.
Tak ada orang yang tidak menjadi pegiat literasi setelah bergabung bersama Komunitas Literasi Massenrempulu. Bahkan teman saya, Ucok, seorang pemalas yang rajin pun kini menjadi pembaca yang militan setelah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Kemah Pustaka.
Tak seperti kemah-kemah pada umumnya, Kemah Pustaka bukan hanya sekadar kegiatan untuk mengunjungi sebuah destinasi alam, kemudian memasang tenda lalu menggelar tikar. Ia bukan pula sekadar kegiatan yang mencari cela sempit dalam memadukan narasi alam dengan dunia keberaksaraan. Jauh dari itu, selain sebagai ajang refleksi, ia merupakan sebuah jalan untuk menapaki kedirian.
Kita tahu, sejak kelahiran antroposentrisme pada abad pertengahan lalu, rupanya semakin memperlebar jarak kita dengan makhluk alam lainnya. Kita tidak tahu asal dan kedirian kita, tapi kita sadar bahwa tiap sudut dalam diri kita adalah jalan pulang yang harus diketahui oleh pemiliknya. Begitu pun hewan dan tumbuhan.
Hidup dan tumbuh seperti tanaman adalah cita-cita merawat lingkungan. Kita belajar menanam, tapi tidak pernah terlalu memperhatikan bagaimana tumbuhan berfotosintesis. Kita hanya pandai mengunyah, atau menggarap lahan, atau menebang pohon lalu menyumbat saluran pernapasan. Di usia senja kini, bumi memang tidak lagi butuh fungsi diafragma. Ia bisa bernapas sesukanya, sekencang-kencangnya, atau berhenti pada waktu yang tak terkira.
Bumi memang butuh istirahat sejenak, menarik dan membuang napas itu sambil merasakan akar-akar pohon tercerabut dari dalam perutnya, kemudian mendengarkan lalu lintas kendaraan yang padat di atas punggungnya, dan burung-burung besi meraung-raung sedang turbulensi melawan badai. Tetapi manusia kerap tak sadar, sampai kapan bumi mampu menanggung semua beban?
Kita mungkin tidak pernah merasakan hidup di kolong jembatan, tapi membayangkan jadi korban banjir bandang itu sangat mengerikan. Sampah-sampah bertebaran dan teras-teras rumah bercak lumpur atau limbah. Tak ada kopi dan sarapan pagi untuk suami dan anak-anak sebab kita hanya menunduk, mengheningkan cipta sambil merenungi kembali betapa pentingnya menanam sayur-sayuran di kebun belakang.
Kita mungkin pernah merasa menjadi pahlawan selepas membikin leding di kebun itu. Menanam di lahan yang sempit dan tandus, lalu mengabarkan orang-orang bahwa kita adalah kelompok pecinta alam. Padahal kita lupa kalau ada banyak jenis tanaman layak konsumsi yang layu sia-sia, entah karena surplus atau korban monopoli harga. Namun jika Anda adalah seorang vegetarian, jadilah vegetarian yang tahu diri, atau setidaknya buatlah kampanye hijau yang mengajarkan tutorial membuat tanaman hidroponik yang benar.
Meski konservasi bukan satu-satunya cara yang paling baik, tetapi ia mampu merawat dan menjaga keseimbangan alam. Modernitas telah menenggelamkan segala hal dan kian menghimpit kehidupan. Modernitas pulalah yang membikin orang-orang saling berlomba menunjukkan eksistensi kedirian mereka.
Sebagaimana kemacetan lalu lintas di jalan raya, kita adalah pejalan kaki yang saling berdesak-desakan dengan kendaraan. Kita kehilangan kedirian itu dan sedang berusaha menggali identitas asal kita. Krisis identitas itu selalu membuat kita merasa tidak dianggap, atau teralienasi dari lingkungan sosial dan budaya. Hal-hal itulah membuat kita ingin berbaring di bawah lampu merah itu, menyetop kendaraan satu per satu, lalu menegaskan kepada pengendara bahwa kita sebetulnya masih ada.
Tentu, tidak ada tempat yang paling pas untuk merenungi kedirian kita selain berjibaku dengan alam. Seberapa jauh pun kita tersesat, alam adalah sebaik-baik jalan pulang. Kita bisa banyak belajar dari tumbuhan dan hewan ihwal kehidupan. Setiap tempat di dunia ini benar-benar adalah sekolah. Katakanlah, di Mendatte Park yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan itu, menjadi tempat yang paling pas untuk menemukan kedirian lewat medium kolabaratif antara peristiwa alam dengan peristiwa literasi.
Kemah Pustaka menyadarkan kita pada apa yang orang-orang urban sebut sebagai momentum liburan. Dunia sedang digasak habis-habisan oleh wabah, negara sebentar lagi jatuh ke jurang resesi, oligarki sedang gencar-gencarnya membangun dinasti, petani terancam suatu waktu kehilangan tanah garapan, nelayan sibuk menyelamatkan ikan-ikan yang keracunan, buruh-buruh tak kunjung menerima upah yang layak, pemuda-pemuda desa tak bekerja, istri menantikan ongkos pembeli popok dan susu, anak-anak tak kunjung mendapat subsidi kuota belajar daring, dan ragam polemik kehidupan yang sekadar dibayangkan saja sangatlah susah.
Di sela-sela momentum inilah kita butuh jeda, merefleksikan kembali upaya konservasi apa yang mesti kita lakukan. Namun belajarlah pada tokoh film animasi Saitama Sensei, bahwa tidak usah bercita-cita menjadi pahlawan untuk dikenang. Kita bisa melakukan konservasi melalui cara-cara yang sederhana, seperti berkemah sambil mengutarakan kegelisahan-kegelisahan akan realitas alam lewat peristiwa literasi—literasi yang tidak hanya dimaknai sebagai bahan bacaan, tetapi juga sebagai pengetahuan yang berpijak pada kultur atau kondisi suatu masyarakat.
Adalah ekoliterasi, istilah lain itu untuk menyebutkan kepedulian terhadap lingkungan melalui ide atau pengetahuan yang bertumpu pada kultur masyarakat, terutama masyarakat agraris. Bagi masyarakat pelosok atau pedesaan, konservasi mungkin bukan lagi barang baru, melainkan konservasi sudah menjadi kultur nenek moyang yang patut dilestarikan.
Namun bagi masyarakat urban, konservasi adalah sebuah agenda yang patut diperhitungkan. Ada banyak pelaku oligarki tambang atau industri pangan sedang melakukan deforestasi yang mengatasnamakan pembangunan di sektor kedaulatan atau ketahanan pangan. Mereka menggunduli hutan, lalu menanami dengan berbagai macam tanaman yang sebetulnya belum tentu urgen dalam menopang kebutuhan hidup sehari-hari umat. Terus teranglah, jika memang agenda itu bertujuan untuk kemaslahatan umat, tapi kenapa proses pembebasan lahan selalu memakan korban?
Mari kita renungkan. Itulah mengapa Kemah Pustaka yang bertajuk Konservasi ini, sekali lagi, mencoba menyadarkan kita akan hal itu.
Yang Tidak Boleh Hilang dari Ingatan Kita Tentang Kemah Pustaka
Termasuk diskusi-diskusi yang liar dan penuh semangat sore itu, membuat saya percaya bahwa literasi akan terus berumur panjang dan punya masa depan. Melalui kegiatan Kemah Pustaka, kita mampu melahirkan ruang-ruang yang dialektis dalam membahas persoalan-persoalan di berbagai aspek, terutama aspek sosial dan budaya. Di sisi lain, kegiatan tersebut merupakan upaya dalam menyulut spirit masyarakat Massenrempulu agar lebih giat mempelajari kultur dan potensi alam di daerahnya.
Jika pengetahuan adalah api, maka masayrakat adalah sebuah tungku yang mesti diisi oleh bahan bakar bernama literatur dan alam. Literasi mesti hadir di mana-mana, dan mampu memancing keributan di setiap tempat untuk membangunkan spirit belajar dalam tubuh masyarakat. Begitulah cara melihat literasi bekerja.
Tanyakan kepada Muhidin M. Dahlan kalau tidak percaya, bahwa tokoh-tokoh bangsa pernah nyaris baku pukul karena meresensi buku—meresensi merupakan salah satu praktik dan bagian dari produk literasi, sebagai modus membaca yang paling intim.
Meminjam lagi mulut Muhidin M. Dahlan a.k.a Gusmuh itu, bahwa memang tak ada literasi tanpa melalui praktik membaca. Membaca itu adalah membaca teks, kedirian dan alam itu sendiri. Kita bisa mengetahui segala hal di dunia ini melalui praktik membaca, dan membaca, kembali lagi, mampu membakar spirit itu.
Masih terngiang sekali dalam ingatan saya, di suatu pagi di musim dingin, di Nating dan Angin-Angin, kita bisa melihat bagaimana spirit itu tumbuh. Dalam agenda berjudul Nating Untuk Indonesia: Wisata Literasi dan Kopi, bersama dengan komunitas penikmat kopi dan pecinta alam mengunjungi sebuah perkampungan di lereng pegunungang Latimojong. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari agenda itu, sehingga mampu menelurkan gagasan yang baru.
Atau tidak usah menoleh agenda tiga tahun silam itu, bahkan ketika acara Kemah Pustaka 2020 ini sedang berlangsung, kita mungkin tidak sadar bahwa kita sedang membawa spirit yang sangat besar. Maka suatu hari, sempat-sempatkanlah untuk mengingat kembali agenda itu: mengapa kita rela berhujan-hujan untuk terlibat dalam membicarakan sesuatu—yang barangkali—negara belum tentu akan hadir dan memikirkan hal itu?
Inilah yang saya maksud, mengapa Kemah Pustaka mampu mengajak kita menyelami kedirian dan alam. Ia memberikan kita ruang untuk kembali menarasikan alam melalui kerja-kerja kolaboratif dengan peristiwa literasi. Ada banyak sebetulnya aktivitas yang dapat kita hadirkan dalam agenda literasi itu. Namun seperti pelangi, Kemah Pustaka lah yang benar-benar mewarnai dunia literasi.
O, iya, terakhir, soal konsep ekonomi hijau yang pernah saya katakan janggal sebab cenderung politis itu—jika ditinjau dari kasus industrialisasi di sektor pangan dan pariwisata yang sarat kepentingan oligarki—tidak usah diambil hati. Toh, saya hanya iseng-iseng mengkontekstualisasikan kritik ekonomi klasik terhadap realitas alam yang terjadi di Enrekang.
Artinya, tidak usah hiraukan apa kata Marx soal determinisme ekonomi, yang cenderung dikaitkan dengan berbagai aspek (basic structure dan supra structure). Teori dan pengarangnya itu sudah mati. Ada pepatah yang biiang: jika karya (hasil pikiran) itu telah selesai ditulis, maka pengarang sudah dianggap mati. Namun andai saja beliau masih hidup, saya juga ingin ikut menggetok batok kepalanya. Begitu.