Gabriel Omar Batistuta, Saya Mengajakmu ke Enrekang!
|Siapa yang tak kenal dengan Gabriel Omar Batistuta, top skor timnas Argentina sebelum alien Lionel Messi hadir kemudian menyalip catatan gol yang dimiliki Batistuta. ‘Batigol’ (julukannya) adalah salah satu pemain sepakbola yang paling diingat oleh para pecinta sepakbola yang sudah menonton & menikmati pertandingan sepakbola di medio 90-an, selain nama tenar lainnya seperti Carlos Dunga, Roberto Baggio, Rivaldo, dan Ronaldo Nazario yang masih muda. Walaupun saat itu masih jarang yang bisa menikmatinya di Enrekang, karena hanya yang berlangganan parabola yang bisa nonton.
Batistuta lahir di Argentina, di kota Avellaneda, Provinsi Santa Fe, 1 Februari 1969. Tidak seperti kebanyakan pesepakbola, Batistuta tidak mengawali kariernya sebagai pesepakbola murni, dia seorang yang memilih bermain basket dan berkuda dibandingkan Sepakbola. Batistuta kemudian mulai tertarik menekuni dunia sepakbola setelah World Cup FIFA 1978 di Argentina, di mana Daniel Passarella cs, berhasil memenangkan trofi Piala Dunia pertama di tengah situasi politik Argentina yang kala itu memanas.
Kenapa Batistuta Musti ke Enrekang?
Selain membawa Batistuta berjalan-jalan menuju tempat pariwisata yang sedang bangkit di kotaku ini, hal yang perlu saya tekankan untuk Batistuta lakukan jika mengunjungi Enrekang adalah tinggal dan menetap serta membangun kampung kecil nan kucintai ini. Membangun apa? pemerintahan? bukanlah! membangun semangat sepakbola yang dulu pernah menjadi salah satu macan di Sulawesi Selatan, menyumbangkan pemain-pemain muda ke klub kebanggaan Sulawesi Selatan ‘PSM Makassar’.
Kenapa harus Batistuta? kenapa bukan Maradona, atau David Beckham yang sekarang menjadi duta UNICEF, atau kenapa tidak memilih talenta lokal untuk membangun kembali semangat dunia persepakbolaan di Enrekang?
Selain karena memang saya adalah seorang yang kagum dengan sosok beliau satu ini, memang sosok beliau satu ini juga punya sesuatu yang dapat memacu dan memicu bangkitnya dunia sepakbola Enrekang.
“Semua orang pernah muda, tapi tidak semua orang pernah gondrong.” Mungkin begitu pesan singkat temanku Indra, jika dia kembali membanggakan rambut gondrongnya. Kaitannya dengan Batistuta apa? Mari kita cuss melanjutkan.
Batistuta adalah seorang yang tidak ego. Masih terekam jelas di sejarah dunia sepakbola, apalagi yang menjadi fans Tim Nasional Argentina adalah ketika Daniel Passarella ditunjuk menjadi pelatih untuk menukangi Timnas Argentina di Medio 1994-1998. Pasarella mengeluarkan peraturan yang banyak ditentang para pemain dan publik Argentina, apalagi fans sepakbola Argentina, peraturan itu yakni pemain Timnas tidak boleh berambut gondrong, dan memakai anting. Kebetulan, 3 Pilar penting Timnas Argentina saat itu berambut gondrong. Fernando Redondo, gelandang cerdas Timnas Argentina dan Real Madrid yang sangat dipuji Sir Alex Ferguson ini, ikut menjadi korban peraturan rambut gondrong Passarella, kemudian ada Claudio Caniggia, juga ada Batistuta. Dari ketiga pemain gondrong ini, hanya Batistuta yang merelakan rambut gondrongnya untuk dipotong. Batistuta memotong atas desakan publik Argentina, begitu juga dengan Caniggia dan Redondo, publik Argentina berharap mereka bisa melakukan hal yang sama dengan Batistuta. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya justru, mereka menginginkan agar Passarella tidak menjadi pelatih Timnas, dan tidak akan mencukur gondrongnya. Walhasil, Caniggia dan Redondo tidak dibawa dalam daftar skuad Piala Dunia 1998 di Perancis, dan Argentina terhenti langkahnya di babak perdelapan oleh Belanda.
Batistuta adalah teladan yang baik, sebab di kota kita, Enrekang, telah ditanami sumpah serapah nenek moyang bahwa si anu malaparru, si ini pangimburuan, si itu masere ati. Malaparru, pangimburuan, dan masere ati adalah ”gondrong-gondrong” yang perlu dicukur. Mungkin salah satu inspirasi lagu Enrekang yang dinyanyikan oleh Pak Amin Purnamayang judulnya “Massenrempulu Mammesa” betul-betul datang dari Batistuta. ‘Tadeanni Sipa’ Masere Ati, Pabelai Sipa’ Mangimburu, Patorroi Sipa Mallaparru, Saba’ Kita To Tau Massenrempulu.’
Selain kisah potong rambut gondrongnya, ada juga kisah sengketa nomor punggung ‘9’ ketika Batistuta pindah dari Fiorentina menuju AS Roma. Batistuta yang kala itu berstatus juru gedor haus gol dan identik dengan nomor punggung 9, enggan untuk menggebu-gebu mengenakan nomor punggung 9 yang lebih dulu digunakan Vicenzo Montella di AS Roma kala itu. Batistuta memilih nomor punggung 18, kemudian mengubahnya di musim berikutnya menjadi nomor 20, sebagai penanda jumlah torehan gol di musim perdananya bersama AS Roma.
Batistuta, adalah seorang yang cerdas, berinsting tajam, serta cepat dan tepat mengambil keputusan. Tidak dipungkiri lagi, bahwa Batigol adalah seorang yang memiliki insting yang tajam, dalam hal ini insting mencetak gol, naluri mencetak golnya amat tinggi, setiap kesempatan selalu dia pergunakan dengan semaksimal mungkin, menciptakan peluang demi peluang untuk membuahkan gol, sekalipun itu dalam sudut yang sempit dan tak diduga-duga. Dengan mengetik kata kunci ‘Batistuta Goals’ di YouTube, maka video akan membuktikan kecerdasan, insting tajam, serta pengambilan keputusan Batigol. Sulit sekali di jaman sekarang ini mencari striker haus gol seperti seorang Batistuta. Yang mendekati adalah Luis Suarez, tidak banyak dribbling, memanfaatkan segala kesempatan, ruang terbuka maupun ruang sempit, dan yang pasti naluri mencetak gol yang tinggi.
Namun, tidak hanya urusan keputusan mencetak gol di dalam lapangan yang membuat Batigol layak untuk datang di kota kita ini. Juga keputusan dalam karirnya, mulai dari keputusan memilih menekuni sepakbola dan meninggalkan basket, juga dunia sians. Kemudian keputusan memilih klub, meninggalkan Newell’s Old Boys, memilih River Plate lalu menuju seteru abadi River Plate, Boca Juniors. Lalu mencicipi liga terbaik dunia kala itu, Liga Italia, menuju Fiorentina, atas dedikasinya kepada Fiorentina, Batistuta kemudian dibuatkan patung di dekat stadion Artemio Franchi di kota Firenze, Italia. Keputusan tepat lainnya adalah ketika memilih berlabuh ke klub ibu kota, AS Roma, dan barulah dia berhasil merasakan juara Liga Italia bersama AS Roma.
Keputusan yang tepat lainnya adalah ketika Batigol memutuskan untuk tidak melanjutkan karir di dunia sepakbola setelah pensiun sebagai pemain sepakbola, misal menjadi pelatih atau menjadi manajer. Batigol lebih memilih bermain Polo ataupun bermain Golf. Batistuta menganggap, Pesepakbola hanyalah pekerjaan, dan musti melakukan segala yang terbaik yang dimiliki.
Dan yang lebih menariknya, Batistuta tidak menyarankan anak-anaknya untuk mengikuti jejak karirnya sebagai pesepakbola, mungkin Batigol tahu, hal ini akan menjadi beban tersendiri untuk anaknya. Bagaimana tidak, menyandang nama belakang sang ayah amat berat, apalagi dalam dunia sepakbola di mana Batistuta adalah seorang yang amat tersohor, dipuja pendukung Fiorentina dan Roma, apalagi Rakyat Argentina. Bahkan dalam salah satu acara radio, ”Reconquista Hoy’, Batigol mengungkap bahwa anaknya, Joaquin Batistuta malah bekerja sebagai tukang fotokopi. Batistuta bisa saja membelikannya mobil mewah atau mendanai usahanya, akan tetapi lebih bangga jika akhirnya anaknya dapat membeli mobil dari hasil jeri payahnya sendiri. Menurut Bati, mental anaknya akan menjadi kuat dengan hasilnya sendiri.
Melihat bagaimana Batistuta bertindak, saya justru semakin ingin menghadirkannya di Bumi Massenrempulu ini, kesuksesannya, kegigihan, serta kerja kerasnya patut kita teladani.
Batigol adalah seorang yang haus prestasi. Sebagai seorang striker yang garang di depan gawang lawan, dan sebagai pesepakbola sudah pasti Batistuta menginginkan trofi yang banyak sebagai pencapaian yang kelak akan dia banggakan.
Setelah berjuang kembali dari Serie B ke Serie A bersama Fiorentina, Batistuta tak kunjung bisa mengangkat Scudetto Liga Italia, membuat Batigol gelisah, sudah sepuluh tahun berkarir di Italia yang juga notabenenya adalah liga terbaik kala itu tetapi belum juga mendapatkan gelar juara liga, duetnya bersama Rui Costa belum mampu menghasilkan juara liga.
Menerima pinangan AS Roma, dan mengejar impiannya mengangkat Scudetto Liga Italia menjadi pilihannya. Walhasil Batigol mampu membawa Roma menjadi kampiun di musim perdananya, Batistuta mengangkat trofi liga pertamanya di kancah Eropa, walaupun hatinya teriris ketika harus membobol gawang mantan klubnya Fiorentina.
Batistuta sangat layak untuk menjadi contoh anak muda di Enrekang. Sikapnya di dalam dan luar lapangan, adalah Role Model yang tepat.
Untuk saat ini, sepakbola Enrekang di kelompok usia muda memiliki prestasi yang gemilang. Dalam ingatan saya, di tahun 2012 lalu ada SSB SD 113 Pana, yang menjadi kontingen Sulawesi Selatan di ajang Danone Cup. Kemudian muncul SSB lainnya yang mampu mengharumkan Massenrempulu, ada SSB Langsagaga Maiwa yang juga mampu melakukan hal serupa di tahun 2017, SSB Langsagaga juga mampu meraih juara ketiga di sebuah turnamen di Bali, di tahun 2019 juga menjadi juara ketiga di Danone Nation Cup. Danone Nation Cup sendiri adalah ajang kompetisi sepakbola untuk kelompok usia muda, yang diselenggarakan di seluruh dunia. Andik Vermansyah, juga Evan Dimas Darmono merupakan salah satu jebolan kompetisi ini. Juga ada SSB SD 112 Belajen, dan SSB Maspul yang mampu berkontribusi di kompetisi usia muda.
Teranyar, salah satu jebolan SSB Pana, Muh. Rafli Asrul, menjadi hangat diperbincangkan. Rafli dipanggil berlatih bersama skuad Garuda Select angkatan kedua. Rafli Asrul juga dijuluki ‘Jorginho from Indonesia’ oleh Dennis Wise dan Des Walker , tim pelatih Garuda Select angkatan kedua yang berlatih dan beruji coba di Inggris dan Italia selama 5 bulan.
Rafli Asrul adalah salah satu contoh anak muda berprestasi dalam dunia sepakbola yang berasal dari Enrekang, selain pendahulunya semisal Diva Tarkas yang lebih dulu pernah merasakan atmosfer Liga Indonesia, ada Hendrico yang pernah merumput bersama El Loco Cristian Gonzales, juga adik Hendrico yang bergabung bersama Persib Bandung Usia Muda, ada Hasan dan Riski yang juga ada di PSM Kelompok muda,. Semestinya di tahun-tahun mendatang, semangat juang talenta muda tidak pudar.
Saya yakin seyakin-yakinnya, akan muncul anak muda Maspul yang melaju ke kancah Nasional bahkan Internasional. Juga saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa kedepannya sepakbola Maspul mampu berbicara banyak di skala lokal Sulawesi, bahkan Go Nasional.
Pembinaan usia muda menjadi salah satu kuncinya, kita sama-sama yakin bahwa anak muda Massenrempulu memiliki bakat yang mampu berbicara banyak di Nasional. Namun tidak berhenti di pembinaan usia muda saja, kompetisi yang berjenjang juga perlu hidup kembali. Sampai kapanpun dan sejauh apapun, euforia sepakbola tidak akan luntur.
Saya juga percaya, cerita Gasma Enrekang tidak hanya selesai pada mengingat kejayaan lalu saja. Mimpi anak Enrekang tidak hanya terhenti di sebatas menjadi fans klub sepakbola, tetapi mampu menjadi pemain profesional yang memiliki prestasi.