Ingatan dan Tulisan
|Di penghujung tahun kemarin, ada banyak dari kita yang berusaha mengumpulkan momen terbaik atau semacam peristiwa sepanjang 2020. Karena kita dihantam oleh pandemi, maka ingatan tentang inilah yang paling mengemuka. Sebenarnya belum lagi jadi lupa atau harus diingat, sebab hingga detik ini pun masih jadi sajian yang selalu tampil di layar lebar dengan multiefeknya. Boleh jadi karena repetisi dan dominannya informasi tentang pandemi, maka kita pun tak perlu mengingatnya saat ini.
Kita justru merasa perlu melacak ingatan yang mungkin sepele, luput dari pembicaraan publik, atau momen bersahaja dan intim. Namun tentu, ingatan yang saya maksud di sini ialah ingatan yang spontan, yang dipanggil dalam citraan ataupun tuturan. Dan saya pikir, ingatan yang berdiam dalam kepala seseorang tak mungkin dihakimi kebenarannya. Janganlah ingatan seperti mimpi yang mulai disidang. Artinya ingatan itu adalah dirinya yang menemukan kembali momennya. Maka saat kita mulai mengumpulkan hal itu sebagai bahan evaluasi diri, bisa saja dalam suara batin atau bahasa yang dikemas dalam doa, kita mengharapkan adanya trasnformasi, paling tidak akan lebih baik lagi.
Momen mengingat seperti itu kemungkinan dapat dihikmati saat kesunyian lebih banyak dimiliki. Tapi tak berarti kesunyian itu saat kita #dirumahaja, yang malah lebih bising karena kita terhubung internet. Membuat sistem internal dalam diri kita bekerja, menyempatkan phone (dalam Saussure suara dan tuturan) tersalurkan dalam “dialog”. Tapi kalau kita melihat fenomena hari ini, rupanya ingatan tak lagi intim bahkan dimiliki hanya oleh subyek, melainkan oleh siapa saja melalui perantara yang hari ini disebut tulisan atau rekaman. Lewat internet kita pun akhirnya menancapkan ingatan secara instrumental. Ingatan yang sudah dimaterialkan dalam tulisan inilah yang nantinya ‘mengingatkan’ kita di media sosial. Tibalah kita pada manusia yang tak lagi memerlukan ingatan yang kuat agar bersenyawa dalam diri.
Di dunia informasi ini, tulisan menjadi teknologi mentransmisikan ingatan. Inilah yang dikhawatirkan oleh Plato, yang mana manusia malas menghafal dan menelantarkan ingatannya. Seperti Socrates, Plato pun anti pada tulisan dalam menemukan kebenaran. Seturut dengan itu, betulkah ingatan dihadirkan pada media sosial mengantarkan kita pada perenungan yang esensial dan fundamental? Mengapa manusia hari ini lebih banyak berdoa dan mengeskpresikan harapan di media sosial? Pertanyaan ini mungkin saja mengandaikan gradasi nilai dari yang spiritualitas menjadi teknikalitas atau dari ingatan yang bersifat abstrak kini direduksi menjadi material.
Jika tulisan saja diragukan sebagai wahana perjumpaan pada yang hakiki maka bagaimana dengan generasi saat ini yang identik dengan visual? Kaum yang disebut sebagai milenial bahkan membingkai segala hal dalam ilustrasi atau visual, tak terkecuali ingatan itu sendiri. Jangan-jangan, karena perkembangan teknologi akhirnya visualisasi menjauhkan manusia menjadi penghafal atau perenung yang ulung. Demikian bila ingin jadi penghafal kitab, kita tak membiarkan waktu kita digempur oleh keterlenaan duniawi bahkan informasi yang melimpah.
Thamus dalam cerita Plato bahkan menolak Hermes pada penemuannya yakni tulisan karena ia mencemaskan jangan sampai ingatan tergantikan fungsinya oleh tulisan sebagai cermin kebenaran. Terlepas dari semua itu, ingatan pun saat ini lebih banyak dimaknai atau katakanlah pada masanya semata-mata difungsikan sebagai hal yang yang sakral, sebagaimana di dalam banyak tradisi niraksara. Bahkan sebuah tradisi mungkin dianggap lebih sakral bila segala hal di dalam prosesnya tidak dituliskan oleh siapapun. Sedetail apapun manusia menuliskan tradisi itu ia tidak akan menemukan representasi yang alamiah, yang juga kadang diakui oleh para pelaku tradisi.
Di sini pulalah tulisan yang dipahatkan sebagai ikon (ingatan) akan menjadi penting bagi para pendatang atau yang keluar dari tradisi (ingatan) itu. Ikon akan menjadi tanda yang memiliki relasi pada makna ataupun ingatan. Dan bila ia benar-benar pendatang baru maka fungsi ikon ialah tanda yang mengimplisitikan kehadiran narator. Demikian halnya dengan ikon yang unik, ia menanti narator yang bisa mengartikulasikan ingatan (pengetahuan) dan makna di balik tanda tersebut.