Aksi Literasi dan Apresiasi Sastra dalam Jalinan Kreatif: Dari Kelas Ke Ruang Publik di Enrekang
|Pembelajaran bahasa dan sastra dalam pendidikan formal masih ditemukan kurang memuaskan. Hal ini bisa kita lihat di berbagai artikel dan juga keluhan langsung dari guru bahasa dan sastra Indonesia (BSI), terutama di sekolah menengah atas (SMA/SMK). Pembelajaran bahasa seakan menjadi pelengkap semata, sedangkan bahasa Indonesia pun masuk sebagai salah satu materi ujian nasional. Sementara itu, saat pelajaran bahasa diujiankan, cenderung penguasaannya hanya terpaku pada teori-teori dari bahasa Indonesia.
Dalam SMA, apalagi SMK, porsi pembelajaran di luar kejuruan memang terbatas, namun bukan berarti pembelajaran seperti bahasa dan sastra Indonesia tidak penting untuk penumbuhan karakter bagi peserta didik. Apalagi terkait bahasa Indonesia yang merupakan jati diri bangsa, tidak sewajarnya hanya diartikan oleh peserta sebagai praktik berbahasa secara fungsional karena digunakannya sehari-hari. Justru di sinilah para guru BSI perlu menerangkan urgensi bahasa dan sastra Indonesia dalam meningkatkan kemampuan berbahasa dan literasi (membaca dan menulis) peserta didik.
Di sisi lain, terdapat keragaman motivasi tenaga pendidik terhadap pembelajaran bahasa dan sastra. Sebagian besar tenaga pendidik mata pelajaran bahasa Indonesia kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan peserta didik dalam bahasa, terutama sastra (Sujina, 2019). Porsi pembelajaran sastra justru hanya bagian dari bab tertentu dalam pembahasan bahasa Indonesia. Sastra terkesan sebatas mengetahui atau menghafal nama sastrawan ataupun puisi tertentu.
Porsi yang terbatas pada sastra tersebut, belum disiasati dengan penyediaan akses pada bacaan sastra di SMA/SMK. Apalagi bila di SMA/SMK tidak terdapat perpustakaan sekolah yang koleksinya melayankan bacaan sastra. Selama ini perpustakaan sekolah lebih banyak menyediakan buku paket (teks) dan pelajaran saja, yang akhirnya membuat peserta didik kurang berminat membaca buku di perpustakaan. Bagi Ajip Rosidi, tanpa perpustakaan (yang berisi karya-karya sastra) di sekolah, maka pendidikan apresiasi sastra adalah omong kosong.
Tujuan pengajaran sastera di SMA/SMK bukanlah untuk mendidik calon sasterawan, melainkan merupakan pendidikan apresiasi agar peserta didik bisa menghargai atau setidaknya punya minat pada sastra. Maka penumbuhan minat pada sastra seharusnya berbarengan pembinaan minat baca, dan karena itu adalah salah satu pintu bagi peningkatan budaya literasi di SMA/SMK.
Di samping tetap memberikan gambaran teoritis dan historis tentang sastra, titik berat pengajaran sastra kepada pelajar SMA/SMK diletakkan kepada usaha memupuk minat membaca sendiri karya-karya sastra (Ajip Rosidi). Karenanya dikatakan memberikan pengajaran sastra dengan menyediakan perpustakaan adalah hal mutlak.
Melihat kenyataan yang terjadi, justru seringkali kita mendapati perpustakaan sekolah tak memiliki koleksi sastra dan bacaan variatif lainnya. Buku karya Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1950-an sudah dibicarakan oleh pelajar SMA, sementara kalau generasi saat ini mungkin film roman Bumi Manusia saja yang populer. Adapun yang sudah memiliki bacaan sastra di perpustakaan, juga masih kesulitan memotivasi pelajarnya untuk punya kemandirian belajar atau membaca koleksi. Maka tugas guru BSI, selain memastikan berlangsungnya pendidikan apresiasi sastra, juga turut aktif dalam gerakan maupun pembinaan minat baca yang didapat di luar pengajaran, misalnya melalui Gerakan Literasi Sekolah. Dan tentu saja berkaitan dengan pembinaan minat baca, guru BSI bisa berkolaborasi dengan tenaga kependidikan seperti pustakawan, maupun pegiat literasi dan sastrawan di luar sekolah.
Kaitan dengan pembinaan minat baca ini, sesungguhnya bukan saja guru BSI dan pustakawan di sekolah yang memiliki tanggungjawab, sebab dalam setiap mata pelajaran memang juga memacu daya baca pelajar agar mampu memahami setiap pelajaran. Namun dalam konteks pendidikan apresiasi sastra yang ‘menuntut’ peserta didik membaca buku-buku secara kontinu untuk menjelajahi berbagai karya sastra yang disebutkan nama pengarang dan judul bukunya dalam pelajaran mereka, maka peran guru BSI justru memiliki porsi yang lebih besar dalam menyiapkan peserta didik memiliki budaya baca. Tak hanya berhenti di situ, apa yang telah dibaca oleh peserta didik sedapat mungkin diberi ruang untuk disampaikan hasil bacaan dan didiskusikan, sehingga praktik berbahasa mereka pun dapat berkembang. Dan selanjutnya, kemampuan berbahasa, membaca dan menulis yang peserta miliki ini akan menjadi gerbang kepada praktik literasi sekolah yang kini didorong di berbagai sekolah melalui gerakan literasi sekolah. Bahkan jika itu berlangsung secara konsisten, sebenarnya pendidikan bahasa dan sastra akan menjadi bagian yang integral dalam penyelenggaran Gerakan Literasi Sekolah.
Kolabora(k)si Guru Bahasa dan Pegiat Literasi
Salah satu sekolah yang telah menunjukkan praktik baik terkait peran guru BSI dan kolaborasinya dengan pegiat literasi dalam menumbuhkan minat baca pelajar hingga menunjukkan praktik literasi ialah SMK Latanro Enrekang. Tidak bermaksud mengabaikan praktik literasi di sekolah lainnya di Enrekang, tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran kecil (yang secara langsung saya amati) bagaimana kolaborasi antara guru BSI dengan pegiat literasi.
Pada tahun 2016, seingat saya sewaktu turut memberi dukungan program Pojok Baca Lamacca di SMK Latanro Enrekang. Program ini merupakan kolaborasi dari program inovasi dan inisiasi dari latihan kepemimpinan yang digelar oleh salah seorang ASN, yang juga aktif sebagai pegiat literasi. Inisiasi yang dibuat oleh ASN cum pegiat literasi ini tidak semata karena adanya latihan, tapi dimaknai sebagai rangkaian dari aktivitas yang coba dikorelasikan dari apa yang digiatkannya dalam dunia literasi.
Perjumpaannya dengan guru BSI dalam kolaborasi tersebut bermula dari relasi mereka sebagai pegiat literasi ataupun sesama penyuka/penyair puisi. Keduanya sudah sering bersua dalam event literasi yang memberi panggung bagi mereka untuk mengekspresikan minatnya pada dunia sastra. Berangkat dari pengalaman bersastra keduanya, titik temu untuk mengadakan program Lamacca di sekolah mendapatkan momentumnya. Interkoneksi mereka sebagai aktor program lebih banyak didorong oleh masing-masing personal yang sudah terajut di luar sekolah.
Sebelumnya, guru BSI di SMK Latanro juga telah membuka wadah ekstrakulikuler bagi peserta didiknya dalam hal peminatan pada seni peran dan sastra melalui unit KOALA. Adanya kelompok kreatif yang terbangun di SMK ini telah menunjukkan peran guru BSI dalam mendukung apresiasi sastra dan seni di luar mata pelajaran sebelum program tersebut. Di beberapa kesempatan, seperti Kelas Literasi yang digelar oleh Komunitas Literasi Massenrempulu (kulimaspul), guru BSI dan peserta didiknya (terutama yang dari KOALA) turut dalam peristiwa literasi. Pendampingan yang dilakukan oleh guru BSI ini pada akhirnya membantu peserta didik mengenal literasi di luar sekolah, mengenal sastra yang mungkin porsinya terbatas di sekolah.
Lalu, upaya memenuhi akses bacaan yang variatif di lingkungan sekolah ini melalui Pojok Baca Lamacca, juga dapat dilihat sebagai alternatif daripada perpustakaan sekolah yang mungkin koleksinya masih terbatas, atau mungkin layanannya belum disajikan secara dinamis oleh pustakawan dengan “humanis”. Asumsi yang terakhir, dengan sendirinya akan memosisikan keberadaan pojok baca semacam otokritik bila tidak disambut dengan sinergi dari pihak pustakawan. Justru momentum itu, mengilustrasikan adanya kesamaan tujuan pustakawan dan guru bahasa dalam membina minat baca peserta didik. Dukungan lanjutan pustakawan bisa meliputi praktik literasi yang digerakkan guru BSI dalam program seperti “Peteng Pitu” (Jam 7). Setiap pagi pukul 07.00 WITA, peserta didik diberi ruang aktualisasi untuk mengekspresikan diri melalui pembacaan karya maupun berkesenian. Dan di situlah hendaknya pustakawan senantiasa menyajikan bacaan untuk peserta didik secara aktif.
Selain itu, kita pun melihat sudah adanya peserta didik dari SMK Latanro yang secara mandiri mengakses bacaan di luar sekolah, utamanya melalui Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang yang memang terjangkau. Artinya, selain perpustakaan sekolah (PS) mutlak ada untuk memancing peserta didik membaca karya sastra sendiri-sendiri, mereka pun disemangati oleh guru BSI untuk menggunakan perpustakaan umum (PU). Dengan begitu, perlu pula kerjasama antara pustakawan PS dengan pustakawan PU, khususnya dalam peminjaman koleksi sastra secara periodik. Inisiatif ini tentunya harus dimulai dengan integrasi pembelajaran dan pembinaan minat baca dalam pelajaran BSI.
Apresiasi Sastra, dari Sekolah Menuju Ruang Publik
Jika semula saya telah menunjukkan praktik baik di salah satu sekolah yang ada di ibukota kabupaten. Kini waktunya mengajak guru BSI memperluas pendidikan apresiasi sastranya secara kontekstual. Arahnya ialah memberi panggung ekspresi dan apresiasi sastra para peserta didik di ruang publik perkotaan yang selama ini belum banyak diisi dengan aktivitas kreatif dari kalangan remaja. Ajakan ini juga untuk memberikan tawaran bagi banyak generasi muda (remaja) saat ini yang terjebak dalam hiburan yang tiada henti dan membuat mereka tidak produktif. Diperlukan banyak ruang ekspresi yang memfasilitasi para pelajar SMA ini agar memiliki ruang alternatif, yang pada harapannya turut menjauhkan aktivitas yang pleasure dan hedonis. Bukan tidak mungkin, peserta didik justru mengambil peran sebagai digital native yang peka pada lingkungan maupun penciptaan kultur kreatif yang atraktif.
Minimnya pertunjukkan sastra dan budaya dari peserta didik sudah seharusnya digalakkan secara inisiatif oleh para guru BSI. Contoh baik yang sudah dilaksanakan misalnya dengan menugaskan siswa membuat film pendek dan panggung ekspresi (teater, puisi, pidato), dapat dipupuk lagi agar menyuburkan iklim kreatif. Penciptaan iklim yang demikian dapat dipicu baik dari pemerintah yang menangani pendidikan, kebudayaan, literasi, maupun komunitas yang eksis dalam peningkatakan kemampuan berbahasa dan kesusasteraan. Peserta didik sudah saatnya diantarkan pada kemampuannya menjadi produsen, tidak hanya menjadi konsumen dan pasar dari maraknya aplikasi game. Mereka adalah generasi net atau millenials yang memiliki budaya media tak boleh dibiarkan kesasar dan terlempar dari praktik literasi dalam menggunakan smartphone.
Karena itu, dukungan pengembangan BSI ini dibuka dengan ajakan yang lebih kontekstual dengan memanfaatkan ruang publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tentunya revitalisasi ruang publik di Enrekang harus siap menerima aspirasi dari masyarakat termasuk pihak pendidikan ini dengan penyediaan sarana yang mendukung kreativitas. Hingga akhirnya, sinergi seluruh pihak dapat menciptakan ekosistem yang menggerakan dinamika kota kreatif yang dihiasi dengan atraksi para pemuda dan pelajarnya.