Sebaik-baiknya Ajakan Membaca adalah Bulan Ramadhan

Tak terasa kita sudah memasuki hari ke-25 Ramadhan. Hari-malam yang dianjurkan untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Pencipta. Menghabiskan waktu di luar jam kerja dengan membaca Al-Qur’an. Di setiap sudut kantor pada jam istirahat, pekerja begitu khusyuk bertadarrus. Umat muslim meyakini bahwa membaca Al-Qur’an di saat bulan puasa akan memberikan ketenangan dan pahala yang berlimpah.

Ramadhan sering dikatakan sebagai bulan literasi, karena di bulan inilah diturunkan ayat pertama yakni Iqra. Dalam surah Al-Alaq ayat 1-5 itu, mengisyaratkan begitu pentingnya membaca (terutama Al-qur’an) dan menulis. Pada bulan ramadhan pula, terdapat malam Nuzulul Quran yang merupakan peristiwa dimana Kitab Suci Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril di Gua Hira.

Karena itu, hendaknya umat muslim memaknai bahwa adanya perintah membaca merupakan bagian dari anjuran agama. Maka aktivitas literasi pun hendak dipahami tidak saja membawa manfaat intelektual, tetapi juga bagian yang tak terpisah dari peristiwa spiritual. Walau sering timbul tanda tanya, mengapa di negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia, belum juga ‘menghidupkan’ ayat tersebut sehingga dapat terwujud praktik dan budaya literasi yang mengakar.

Ada dua kemungkinan, pertama, bisa jadi yang dibaca berpusat pada Al-Qur’an sebagai aktivitas ibadah. Namun belum dibarengi dengan membaca kitab/buku yang lain. Hal ini tentu baik, dan sangat berfaedah, sebagaimana dikatakan bahwa:

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an.” (HR. Al-Baihaqi).

Namun membaca kitab/buku yang lain juga penting bagi kehidupan umat muslim. Dan tentu sudah banyak ayat-ayat suci yang menegaskan agar muslim memperluas cakrawala berpengetahuannya.

Kedua, paham adanya ayat pertama dan maknanya, namun komitmen untuk menggiatkan diri dengan aktivitas membaca masih dihalangi oleh aktivitas lainnya. Kendala lain mungkin akses bacaan di pusat-pusat ibadah yang masih terbatas, atau edukasi mengenai pentingnya membaca dari perspektif Islam belum dibarengi dengan program literasi Islam di masjid. Saat ini lebih dominan menyediakan diri sebagai pendengar ceramah, ketimbang menjadi aktif untuk mendapatkan pencerahan spritiual dengan membaca. Keduanya tentu tak perlu dipertentangkan, sebab keduanya baik dan mustinya saling melengkapi.

Dengan demikian, kita memang mengharapkan tradisi membaca itu muncul saat bulan Ramadhan. Jika kita menjadikan puasa sebagai “pembakaran atas dosa” atau “tarbiyah”, maka dosa atas kelalaian membaca Al-qur’an pun menjadi renungan yang baik. Kita mulai bertanya mengapa tidak menggali samudera pengetahuan dengan jalan membaca.

Bulan ramadhan seharusnya tak saja mendatangkan kemeriahan pasar takjil. Namun juga bisa menghadirkan toko-toko buku yang menjajahkan buku-buku Islam atau menyediakan stok Al-Qu’ran yang akan dibagikan selama ramadhan bagi mereka yang belum punya kitab suci itu di rumahnya. Sama halnya, buku-buku agama di perpustakaan (dan perpustakaan digital) seharusnya banyak terpinjam. Lalu, kemeriahan literasi Islam sejatinya akan membawa muslim mempelajari agamanya. Bayangan seperti itu mungkin belum terlambat untuk dihadirkan, paling tidak jadi bahan rencana untuk ramadhan berikutnya.

Bagi pegiat literasi, atau yang bekerja mengajak orang membaca, maka penting meyakinkan kepada siapa saja bahwa membaca adalah hal yang fundamental dalam Islam. Bayangkan bila setiap hari bergema rutin pembacaan Al-Qur’an di rumah-rumah dan rumah ibadah selama sebulan penuh Ramadhan, ini akan menjadi kerinduan manakala meninggalkan bulan penuh gema literasi itu. Karena itu, sebaik-sebaiknya ajakan membaca adalah bulan ramadhan. Setelah ramadhan, seperti gelas yang kosong marilah isi air pengetahuan, agar kita dapat meminumnya kala membutuhkannya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *