Relevansi Buku Ajip Rosidi dalam Pembicaraan Sastra Masuk Kurikulum
|“Guru-guru yang sekarang mengajar anak kita di sekolah pun tidak mempunyai kegemaran membaca, sehingga tidak merasakan perlunya mengajarkan pelajaran membaca secara intensif murid-muridnya dan dengan demikian menganggap tidak ada perlunya sebuah perpustakaan sekolah.” (Ajip Rosidi, 1983, Hlm 100-101)
Buku adalah takdir yang tak terduga. Sebuah buku yang saya peroleh saat berjalan kaki di Jakarta menuju hotel tempat saya menginap. Saya secara tidak sengaja melewati Toko Buku Bekas di Pasar Senen Jakarta. Karena minat yang tinggi terhadap buku, akhirnya saya melangkahkan kaki masuk ke dalam toko buku dan ternyata buku yang dijajahkan ditawarkan dengan murah.
Sebuah buku akhirnya menyita perhatian saya, buku ini berjudul Pembinaan Minat Baca, Bahasa, Sastra karya sastrawan Indonesia, Ajip Rosidi. Buku ini dijual dengan harga 10.000. Tentu saja saya langsung membayarnya. Sesampai di hotel tempat saya menginap, rasa antusias untuk membacanya memang tak bisa ditahan.
Ketertarikan saya pada buku ini, karena isinya yang relevan dengan apa yang sedang menjadi kegelisahan terhadap dunia perpustakaan. Pada buku ini, saya diyakinkan bahwa perpustakaan dalam sekolah amat penting. Bahkan beberapa penegasan dari Ajip Rosidi dalam buku ini mengenai pentingnya peran perpustakaan sekolah. Ia bahkan menyatakan omong kosong bila ingin membina Bahasa dan sastra tanpa adanya perpustakaan di sekolah.
Bagi saya, membaca buku ini seperti memberikan energi baru untuk meyakinkan kepada pihak yang selama ini menempatkan perpustakaan hanya sebagai sarana pelengkap. Di saat yang sama, kondisi perpustakaan sekolah memang hanya dihiasi dengan buku paket kurikulum. Sementara sastra beserta bacaan yang memicu daya imajinasi, sangat terbatas di sekolah. Manakala ada guru yang memperkenalkan nama-nama sastrawan di ruang kelas, bukunya tidak tersedia di perpustakaan. Akhirnya peserta didik hanya bisa hafal nama sastrawan namun belum pernah membaca bukunya. Ajip Rosidi mengisyaratakan lewat pembelajaran sastra dapat membuat peserta didik memiliki kebiasaan membaca, karena dengan buku sastra mereka akan membaca sendiri-sendiri.
Karenanya buku ini menurut saya masih relevan untuk diedarkan kepada para pelaku pendidikan. Selain buku itu, buku ini terbilang membuat perspektif saya berubah dalam hal peran perpustakaan yang tak dapat dilepaskan dari pendidikan itu sendiri. Ibaratnya, perpustakaan adalah representasi kemandirian belajar bagi peserta didik. Bila perpustakaan diperkaya dengan bacaan sastra, maka akan menopang hidupnya aktivitas membaca. Tidak hanya itu, membaca buku sastra dapat mewadahi timbulnya budi pekerti melalui cerita yang menampilkan beragam karakter.
Saya merekomendasikan buku ini dibaca oleh pustakawan sekolah dan guru-guru bahasa dan sastra ataupu guru yang ditugaskan mengurus perpustakaan, sebab buku ini bisa mengonfirmasi bahwa peran mereka dalam dunia pendidikan adalah hal yang urgen. Apalagi Kemendikbud baru saja (17 Mei 2024) meluncurkan program “Sastra Masuk Kurikulum”, yang mengisyaratkan peran strategis dari perpustakaan. Sudah seharusnya pembelajaran sastra terhubung dengan perpustakaan, karena sastra tak bisa melepaskan diri dengan dunia buku. Melakukan integrasi dan kolaborasi antara sastra, literasi dan pendidikan adalah bagian dari menciptakan ekosistem budaya baca.
“Pengetahuan sebagian besar tidaklah didapat dalam bangku sekolah, melainkan melalui buku – dan karena itu kata-kata bersayap banyak yang mengatakan bahwa buku itu merupakan universitas.” (Ajip Rosidi, 1983)