Membikin Pembedaan Karena Ide Untuk Bacakada di Enrekang
|“Small minds discuss people, Average minds discuss events, Great Minds discuss ideas”. (Pikiran kecil membicarakan orang. Pikiran sedang membicarakan peristiwa. Pikiran besar membicarakan gagasan). ~Elevator Roosevelt~
Per hari ini nyaris perbincangan mengenai ide-ide besar dari para bakal calon (bacalon) pemimpin daerah di Kabupaten Enrekang belum tampak. Di tengah massifnya kanal digital, yang tentu saja menjadi corong yang signifikan mengedarkan seluk beluk para kandidat, justru belum dikapitalisasi dengan optimal. Yang tampak hanyalah poster atau spanduk yang menonjolkan nama dan wajah. Beberapa tagline atau slogan memang mengisyaratkan keberlanjutan, perubahan, harapan baru, solusi atau lainnya, namun ke semuanya tampak abstrak, tanpa narasi.
Hal ini juga tidak diiringi munculnya ruang-ruang dialog yang terbuka sebagai bagian “pesta demokrasi” dari warga sipil. Partisipasi kelompok sipil dan komunitas intelektual yang mau berinisiatif memfasilitasi ruang untuk desiminasi ide dan platform politik bakal calon, juga masih adem-adem. Padahal bicara mengenai pendidikan politik, ketersediaan ruang seperti itu adalah penting, agar masyarakat dapat memiliki referensi untuk menentukan preferensi. Jadi, pilihan mereka didasarkan tidak hanya bertumpu pada identitas, kekerabatan, like atau dislike saja. Sehingga warga Enrekang tidak sekedar jadi fans club.
Sebelumnya juga, nyaris tidak ada tanda-tanda gerakan sipil yang memiliki sosok ‘arus bawah’ dalam agenda politik. Bahkan komunitas-komunitas yang cukup kritis terhadap fenomena pembangunan, dan sikap peduli terhadap lingkungan Enrekang, tidak sempat menangkap peristiwa-peristiwa sebagai momentum mengajukan figurnya. Figur yang muncul lebih banyak ‘yang menawarkan diri’ ketimbang yang dipinang oleh warganya.
Penyediaan ruang literasi politik dimaksudkan untuk mensirkulasikan gagasan para bakal calon untuk disimak oleh warga, di samping akan menjadi legitimasi ide politik yang menguatkan legitimasi suara mayoritas nanti. Karenanya, pentingnya menanti kelompok yang berperan sebagai “moderator” ini akan membantu para pemilih memiliki alasan yang mengacu para pikiran-pikiran calonnya. Idealnya, yang mencuat adalah idola terhadap gagasan.
Bayangkan, bila dalam 4 bulan ke depan ini kepala kita dijejali oleh pikiran kecil, mungkin kita lebih banyak membandingkan gimmick politisi tinimbang hal-hal yang sebenarnya kita sedang butuhkan, lalu tidak memberikan apa-apa selain memicu perbincangan biner. Berbeda kiranya bila pikiran besar yang menggema, maka akan meninggalkan nilai-nilai yang akan menghasilkan dialog yang menumbuhkan demokrasi. Jangan sampai perbedaan itu lahir justru bukan karena pertarungan ide pembangunan, tapi lebih karena hasrat berkuasa semata.