Tentang Alam Enrekang dan Menunggu Kepemimpinan Perempuan
|Barangkali dari judul di atas, langsung saja mungkin ada yang bertanya mengenai apa kaitan alam dengan perempuan. Nah, mari kita telisik, dalam suatu pandangan mengenai kesamaan perempuan dan alam, dan kita akan menemukannya dalam makna simbolik. Singkatnya, keduanya melahirkan sebuah kehidupan. Bahkan kedua isu tersebut menjadi konsen dalam gerakan yang disebut dengan ekofeminisme, di mana feminitas merupakan landasan dalam memperlakukan alam, sekaligus merupakan etika kepedulian yang asali dari perempuan. Dapat dikatakan, gerakan ekofemenisme juga menantang dominasi patriarki, khususnya dalam tindakan yang merusak alam. Tindakan ini tidak saja dimaknai sebagai praktik yang langsung bersentuhan dengan perusakan alam, namun juga termasuk di dalamnya ialah kebijakan, narasi dan kultur yang menimbulkan efek yang sama.
Kita barangkali pernah mendengar pernyataan semisal “hutan yang ditelanjangi”, hal itu secara simbolik merepresentasikan bahasa yang dinisbatkan pada gender yang bereproduksi. Karena itu istilah “Ibu Pertiwi” dan lainnya melekat sebagai identitas yang identik dengan perempuan dalam arti simbolik dan linguistik.
Kajian mengenai ekofeminisme tentunya tak akan banyak dibahas dalam kesempatan ini. Namun berangkat dari narasi singkat tersebut, kemudian kita tarik masuk ke dalam konteks Enrekang yang akhir-akhir ini menunjukkan ‘kekhawatiran’ pada alamnya. Sebagian mungkin menganggap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah murni sebagai fenomena alam. Walaupun, di sisi lain, tentu ada pula yang mengambil refleksi saat menyaksikan banyaknya longsoran dan luapan-luapan air yang merangsek ke pemukiman warga.
Dalam kondisi akhir-akhir ini yang terjadi di Kabupaten Enrekang, rasanya perlu untuk meninjaunya dari perspektif ekofeminisme sebagai suatu refleksi yang dapat saja menyiratkan kesadaran maupun gerakan, baik preventif maupun cara menanggapi. Kesadaran ini perlu dihidupkan, jangan sampai melepaskan diri dan pasrah karena masih menganggap yang terjadi bersifat alamiah, sementara di titik lain kita menyaksikan sendiri pohon dibabat, bukit digundul, dan tanah diracuni. Kepekaan ini harus pula dimaknai sebagai suatu ‘cara untuk membaca’.
Isu ekologi yang didekati dengan keterlibatan perempuan ini relevan dalam konteks Enrekang, sebab di antara banyak petani/buruh tani yang ikut dalam monokultur pertanian saat ini, juga berasal kalangan perempuan. Di samping itu, beberapa polemik mengenai lahan atau agraria, keterlibatan perempuan di Enrekang dalam menyuarakan problem tersebut sebenarnya sudah ada, namun langkah itu adalah satu hal. Hal yang lain, yang perlu dipantik ialah kesadaran yang dibarengi dengan spritualitas bahwa merawat alam tak lain bagian dari kesalehan ekologi. Terutaman bahwa, alam adalah bagian dari representasi sekaligus spritualitas bagi perempuan.
Isu ekologi bagi masyarakat religius di Enrekang, seharusnya menjadi isu penting. Apalagi dalam berbagai perspektif Islam sebagai agama yang dianut secara mayoritas di Enrekang, menunjukkan banyak ayat-ayat yang mengajak manusia untuk menjaga dan melestarikan alam.
Tana rigalla tana riabussungi, sebagai sebuah kalimat yang sering dilekatkan pada Massenrempulu ini juga sebenarnya mengandung unsur spritualitas yang mendalam bila dimaknai. Sebab sebuah tanah yang diagungkan atau tanah yang disucikan, niscaya harus tercermin dari mereka yang mendiami tanah itu. Mengeksplorasi alam tanpa mengeksploitasinya secara berlebihan, merupakan tanggungjawab yang memastikan petuah tana mapaccing, tana salama merupakan penanda bagi masyarakat religius di Enrekang.
Pembangunan dan Kepemimpinan ala Perempuan
Isu kerusakan alam memang selalu bertautan dengan isu pembangunan. Sebab pola pembangunan yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam, akan selalu memberikan ancaman baru bagi ekosistem. Meskipun pengawasan melalui analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai alur yang harus dilalui, namun di dalam praktik tertentu, hal itu tidak cukup, apalagi bila tak mengantongi amdal itu. Dalam beberapa kesempatan, kita pernah mendengarkan protes-protes warga atas kehadiran pertambangan yang dinilai mengancam ekosistem.
Untuk itu, jika kalangan perempuan melihat pola pembangunan di Enrekang dalam kekhawatiran yang tingkatnya tinggi dan patriarkal, maka narasi di atas dapat menjadi pertimbangan. Keterlibatan perempuan atas kepedulian alam ini dapat saja sampai pada upaya mengambil peran yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Sayangnya, sejauh ini tokoh-tokoh perempuan yang mengangkat isu ekologi ini sebagai gerakan politik belum juga nampak. Padahal isu ini penting dipanggungkan sebagai narasi tandingan bagi sosok laki-laki yang tampil dalam panggung politik namun belum memiliki narasi pembangunan yang menyentuh perhatian ekologis.
Tanpa bermaksud untuk meminggirkan laki-laki dan bias gender, namun kemauan untuk memperhatikan ekologi juga harus dipantik dari kalangan perempuan sebagai suatu pembanding yang belum pernah hadir dalam praktik pembangunan. Walaupun mungkin tak menjamin, namun potensi perempuan yang berkesadarana ekologi itu, akan menjadi tokoh alternatif untuk narasi pembangunan yang lebih condong misalnya pada ekonomi hijau.
Jika ditilik dalam sejarah, juga belum terdapat sosok perempuan yang duduk dalam kekuasaan sebagai kepala daerah. Kehadiran sosok perempuan dalam konteks ini paling tidak merepresentasikan nilai juang seperti “Pancaitana Bungawalie”. Jika dalam masanya ia mempertahankan wilayah kekuasaan dari kolonialisme, sosok yang dinanti dari perempuan ialah mereka yang mempertahankan agar alam Enrekang tidak dieksploitasi hanya karena ekonomi semata.
Karena itu, mari kita menanti siapa saja perempuan di Enrekang yang tertarik menangkap narasi ini sebagai suatu kepekaan sosial yang memiliki agenda perjuangan dalam gerakan politik.