Esensi Persaingan dan Isu Kotak Kosong di Pilkada Enrekang

Hari-hari ini isu soal kotak kosong kembali mengemuka setelah pemberitaan mengenai Pilkada Jakarta. Dalam beberapa hari terakhir ini, pembicaraan di media-media mainstream dan podcast politik di Youtube semarak mengangkat topik kotak kosong. Jika dicermati, dengan melihat pendapat para pemerhati atau kritikus politik, menganggap politik tanpa persaingan tidak menarik dan melemahkan demokrasi. Meskipun secara prosedural tidak melanggar aturan yang ada, namun hal tersebut menandai menguatnya politik kartel yang ujungnya mengancam kualitas demokrasi.

Politik kartel seperti ini adalah upaya memonopoli sehingga tak akan muncul persaingan. Partai-partai politik yang selama ini mengatakan diri mampu melahirkan kader-kader sendiri sebagai calon pemimpin publik, kelihatannya tidak percaya diri, khawatir tidak berada dalam lingkaran yang mengakomodasi kekuasaan. Tadinya, masyarakat menganggap partai sebagai corong atau representasi untuk menyodorkan dan memotret figur-figur publik yang punya kriteria memimpin, justru kebalikan dari harapan itu. Alih-alih masyarakat punya partisipasi dalam demokrasi, sebab penentuan siapa yang akan didaftarkan sebagai calon, hanyalah urusan elite-elite partai.

Di internal partai sendiri, bahkan antara ajuan DPD, DPW akan berbeda dengan keputusan DPP. Sementara pilkada pada level provinsi tak terlepas dari kelanjutkan kontestasi Pemilu nasional seperti yang terjadi saat ini dalam Pilkada Jakarta, dengan isu membangun koalisi gemuk melalui partai-partai Koalisi Indonesia Maju Plus, yang disinyalir akan membuat kotak kosong. Tentu dinamika politik berbeda setiap daerah, demikian pula koalisi antar partai berbeda setiap daerah khususnya pada level kabupaten/kota. Di sisi lain, upaya meraup dukungan partai ini tidak sepenuh menyertakan aspirasi masyarakat pada sosok yang disuarakan. Seakan-akan masyarakat hanya berdiam diri menunggu dimobilisasi untuk memilih. Apalagi bila dalam suatu daerah di mana Pilkada akan digelar, kelompok sipil kelas menengah tak menyentil dinamika politik yang dimainkan elite-elite daerah dan tak menyediakan ruang kontestasi ide.

Ketiadan persaingan karena borong partai ini menutup peluang masyarakat menjajaki calon yang layak dipilih. Konsekuensinya juga akan menghilangkan momentum untuk interaksi atau terjadinya kontestasi gagasan, sehingga akan muncul kepemimpinan yang legitimate-nya lemah. Hal ini tentunya merugikan bagi masyarakat yang tak memiliki banyak pertanyaan langsung dan kesempatan menagih komitmen kepada kandidat mengenai apa yang akan dikerjakan sebagai pemimpin publik.

Dinamika Pilkada di Enrekang dan Isu Kotak Kosong

Isu mengenai kotak kosong dalam Pilkada Enrekang tahun 2024 juga bermunculan di media-media sosial setelah salah satu kandidat mengantongi rekomendasi yang terbilang gemuk. Partai di mana ia menjadi kader sebenarnya sudah bisa mengusung sendiri tanpa berkoalisi. Namun upaya untuk menggandeng banyak partai tampaknya terus dilakukan hingga hanya menyisakan 4 partai yang masih memiliki kursi. Upaya meraup dukungan penuh inilah yang menimbulkan spekulasi bahwa akan terjadinya kotak kosong. Bila pasangan tersebut mampu mengantongi rekomendasi dari 3 partai yang tersisa, maka dapat dipastikan akan terjadi kotak kosong. 1 Partai dengan bakal calon penantang yang tersisa otomatis tidak mencukupi 6 kursi yang menjadi syarat untuk mencalonkan. Bila dicermati, kondisi ini punya kesamaan dinamika yang disiarkan saat ini mengenai kontestasi Pilkada Jakarta, bahwa bakal calon yang memiliki survei atau elektibilitas yang signifikan sekalipun bisa saja terancam tak mendapatkan tiket maju sebagai calon.

Meskipun dinamika politik masih terus berlangsung, namun pada prinsipnya, sebagaimana pengantar di atas, kita berharap demokrasi yang sehat dapat terjadi melalui persaingan antara manusia dengan manusia, bukan non-makhluk: kotak kosong. Di sisi lain, sebenarnya kotak kosong ini bukan sesuatu yang baru dalam politik di Enrekang, sebab pada pilkada 2018 sebelumnya hal itu terjadi. Sementara aktor-aktor politiknya saat ini ada dalam kelompok yang berbeda, namun bila ditarik berdasarkan klan politik yang berkuasa, maka isu kotak kosong ini semacam arus balik yang akan dihadapi oleh klan yang sama kala itu, juga menang atas kotak kosong. Hal tersebut akan jadi “karma politik” baginya bila kotak kosong benar-benar terjadi.

Terlepas bahwa apakah fenomena kotak kosong akan menang seperti yang terjadi di Makassar tahun 2018 lalu atau justru kembali sama yang terjadi pada Pilkada di Enrekang pada tahun yang sama. Terdapat pendapat yang melihat bahwa kemenangan Kotak Kosong di Makassar adalah bentuk perlawanan dari bakal calon yang tak mendapat partai pengusung yang cukup, sementara ada pula yang melihat bahwa kemenangan kotak kosong adalah representasi perlawanan kritis oleh kelas menengah kota yang rasional terhadap upaya memonopoli proses demokrasi lokal.

Walaupun secara demografis, penduduk antara Makassar dengan Enrekang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan yang pernah terjadi di Makassar, bisa terjadi serupa di Enrekang bila melihat dari sisi kekuatan bakal calon yang notabene anak dari kepala daerah yang menjabat pada periode kemarin. Kekuatan dan pengaruhnya tentu juga akan dijadikan kalkulasi oleh lawan yang telah memenuhi persyaratan, sebab suara signifikan yang diraih oleh sang Bapak pada pemilihan legislatif tingkat pusat yang lalu menjadi sinyal bahwa basis dukungannya masih mengakar.

Jika melihat pertarungan yang akan terjadi dalam Pilkada Enrekang tahun ini, setidaknya juga menjadi ajang pertarungan dua klan yang pernah memimpin daerah ini. Kedua dinasti politik ini juga dibicarakan oleh masyarakat dengan melihat rekam jejak pemerintahan dari keduanya. Memunculkan narasi dengan melakukan komparasi gaya kepemimpinan dan prestasi pemerintahan antara kedua klan masing-masing bisa menjadi tolak ukur bagi masyarakat pemilih. Meskipun hal itu tak menjadi dasar pilihan yang sepenuhnya rasional, bahwa suatu prestasi dapat diwariskan, ataupun gaya kepemimpinannya dibutuhkan dan relevan dengan kondisi yang sudah berbeda saat mereka memimpin. Di luar dari pada itu, hendaknya masyarakat tidak terkurung hanya dari tarik menarik garis trah politik maupun antar wilayah atau sub etnis yang ada di Kabupaten Enrekang dalam menyatakan preferensinya.

Memang agak sulit untuk menyuarakan kejernihan memilih, sebab hal ini harus sejalan dengan tingkat literasi politik warga. Sementara di lain sisi, media daring dan media sosial pun sekedar dipenuhi dengan iklan politik, tanpa banyak menanyakan langsung ke para bakal calon itu perihal platform atau nilai apa yang akan ditawarkan ke publik melalui pemberitaan. Mengedarkan konsep calon melalui corong media online ini sangat efektif untuk memperbanyak informasi rekam jejak pikiran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi masyarakat. Pada akhirnya esensi persaingan tak lain untuk menemukan aspek kualitatif dalam kepemimpinan yang bisa memberikan solusi atas beragam persoalan yang ada di Kabupaten Enrekang. Karenanya Pilkada Enrekang tidak seharusnya sebatas soal popularitas, elektabilitas atau kekuatan dukungan, tapi diskusilah tentang apa yang akan dilakukan selama 5 tahun.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *