Post-Truth dan Meniru Prinsip Baca Arsip

Suatu waktu seorang pemilik akun yang tak baik disebutkan namanya di sini nampak emosi kepada seseorang di facebook. Sindirannya menggunakan tautan artikel pada sebuah situs, yang seakan ingin menunjukkan pembenaran pada dirinya. Katanya, “wanita itu perawat yang sesungguhnya ketimbang yang lain, baik yang hidup maupun tidak seperti objek material”.

Saat membaca itu, saya seperti kikuk karena menyadari bahwa sebuah artikel di media dapat digunakan untuk sekedar pembelaan diri. Mungkin tak peduli apakah kontennya itu benar atau relevan karena yang terpenting narasinya pas untuk memback-up perasaannya yang lagi karut.

Kejadian seperti itu saya juga jumpai di beberapa grup WA. Dan ini yang cukup serius, sebab bahasan di dalam grup adalah dominan percakapan politis (oposisi) yang tiada jeda. Terkadang ada anggota grup membagi berita yang kiranya meneguhkan sikap oposisi untuk selanjutnya memantik debat kusir, padahal isinya kadang tidak berimbang, hingga (basa) basi. Ada kesan permisif menerima setiap berita tanpa analisis yang cukup manakala setiap orang terpancing berkomentar tanpa menilik pada konten berita. Malah ungkapan ‘receh’ seperti macu’ jadi bahan guyonan yang seolah lazim diperdengarkan.

Melihat fenomena seperti itu, saya pun lantas berpikir, apakah ini yang dimaksud dengan gelaja post-truth? Di mana informasi dapat diproduksi atau dibagikan dalam kepentingan subjektif dan tak peduli dengan fakta. Lantas bagaimana sikap insan pengarsip merespon fenomena tersebut.

***

Kita hidup di zaman yang membutuhkan ruang pelestarian arsip yang memadai. Arsip yang identik dengan data dan informasi, begitu penting dikelola agar dapat terjaga sebagai memori otentik. Sebab tanpa pelestarian arsip yang serius, maka boleh jadi kita kehilangan jejak.

Karena begitu pentingnya arsip, kerja pengarsipan tak boleh dibiarkan terbatas pada yang kerja konvensional. Sebabnya, ruang arsip membutuhkan sentuhan (sistem) teknologi mutakhir. Anggaplah pengelolaan arsip statis, arsip dinamis, arsip inaktif, lalu ada arsip budaya, arsip seni, arsip musik dan arsip lainnya, dikelola secara kontemporer.

Kerja pengarsipan juga tidak sebatas mengumpulkan berkas administrasi yang ada di kantor-kantor (khususnya) pemerintah. Melainkan, arsip non-administrasi yang berada di luar pemerintah dan memang mengandung nilai informasi dapat dijaring untuk kepentingan pelestarian. Karena itu, praktik pengarsipan itu tak menunggu surat terkumpul, tetapi ia menghunting dan menelusuri di berbagai medium.

Praktik pengarsipan terkini tidak cukup dalam sunyi, apalagi menjauh dari media baru dan masyarakatnya. Seorang pemgarsip menawarkan posisi akan pentingnya sebuah arsip dengan membangun paradigma berpikir yang utuh, otentik dan radikal. Dikatakan radikal, karena pembacaan arsip mengajak kita menggali sampai ke akarnya yakni sumber primer.

Ajakan memahami arsip pada titik ini, adalah cara yang relevan untuk memandu masyarakat agar melakukan pembacaan yang tuntas di belantara informasi. Prinsip yang demikian akan mengantar pembaca melalukan banyak kunjungan pada sumber bacaan dan tidak berhenti di persimpangan jalan sebelum menjumpai kebenaran yang dicari: arsip!

Karena itu praktik penelusuran arsip mengajarkan bahwa di era informasi ini, kita ditantang mencari sejarah dalam dunia labirin informasi. Hanya dengan ketekunan dan penyidikan yang detail, kita dapat menemukan harta karun pengetahuan. Jika tak ingin terjangkit hoax maka rawatlah diri Anda dengan cara baca arsip. Dengan modal itu, mental permisif dapat diatasi.

Dalam arsip memang bukan nilai bukti saja yang dicari tetapi juga nilai informasi yang tak putus diterjemahkan. Karena itulah pembaca musti menelusur secara komprehesif dalam menjaring informasi yang ‘valid’.

Mungkin di era post-truth orang bisa saja menafsir arsip untuk kepentingan yang melampaui kontennya. Lalu membagikan seolah itu opini publik. Olehnya respon pengarsip mustilah mendorong pembaca arsip menirukan prinsip telaten dalam menemukan arsip.

Maka pada akhirnya, praktik pengarsipan adalah kerja kebudayaan yang menyiratkan makna mengingatkan diri pada asali. Menasehati diri agar tak mudah menerima mentah-mentah narasi dan wasiat. Karena itu, siapa saja yang merawat dirinya dengan prinsip kearsipan (dokumentasi), maka ia tak akan ditaklukkan oleh siapa pun, termasuk pemasok hoax.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *