Metamorfosis Kemandirian Pangan dalam Serangan Pandemi

Kali ini saya akan membahas perihal metamorfosis. Dalam defenisi yang kita jumpai, metamorfosis merupakan perubahan bentuk hewan (evolusi) dari satu fase atau pertumbuhan menuju kedewasaan. Tapi tunggu dulu! Kita tidak akan membahas jauh-jauh persoalan hewan.

Baiklah. Untuk mempersingkat waktu marilah kita bersama-sama… Duh ralat, maaf ini bukan ceramah tapi mungkin dapat membantu pembaca berpikir. Yah, bisa jadi seperti ceramah sih, mungkin ‘ceramah’ yang tidak menyebutkan ayat agama. Maka dari itu saya akan bahas sedikit demi sedikit.

Kita kini was-was dengan pandemi yang menyerang kehidupan negara, hingga meresap dalam kehidupan kita, dari kota sampai menyentuh akar rumput.

Di kota, diterapkanlah lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Keputusan yang diambil agar penularan virus dapat ditekan dan tidak menambah masalah kesehatan. Walaupun dengan kebijakan tersebut, masalah baru kini menyusul, seperti tingginya KDRT, depresi, dan yang paling krusial ialah kesediaan pangan. Dan memang penting dan menarik membahas kebutuhan pokok (sandang, papan dan pangan) untuk bertahan hidup di tengah badai wabah ini.

Mengisolasi diri tentu bisa menjauhkan orang-orang dari kontaminasi Covid-19, namun tidak berarti membuat orang-orang lepas dari potensi kelaparan akibat ketahanan pangan yang menurun drastis. Sebabnya, banyak yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan yang semula digunakan membeli pangan. Bagi orang-orang ekonomi kelas mapan (yang kebanyakan berprofesi di bidang jasa) dan menengah, mungkin akan berlomba-lomba menimbun makanan sebanyaknya. Lalu di situ muncul pertanyaan, bagaimana dengan nasib orang-orang berupah sangat rendah, yang penghasilannya hanya pas untuk kebutuhan membeli makan pada hari itu saja setelah bekerja?

Dalam situasi yang dilematis, wajarlah dominan orang jadi “berkepala batu”. Pak Tius contohnya, salah seorang kuli bangunan yang tak mengindahkan anjuran pemerintah agar mengisolasi diri di wilayahnya yang telah masuk kategori zona merah. Katanya kalau tak keluar bekerja, keluarganya mau makan apa. “Kecuali bila aku dan keluarga punya pasokan makanan di rumah.”

Nah, di sini Pak Tius menemukan dalihnya (pintar) secara tidak langsung. Ia memikirkan solusi dari apa yang dirasakannya sendiri dengan menjawab bahwa ia terpaksa keluar karena masalah pangan, dan kata “kecualinya” hanya bayang-bayang harapan. Karenanya, mungkin itu solusi yang pas untuk menghadapi persoalan pandemi ini, terutama dalam hal pangan.

Tanpa sandang dan papan orang masih bisa hidup, tapi jika sudah menyangkut masalah pangan orang mau dapat energi dari mana? Dari hasil makan besi, kemudian mati? Maaf yah, agak emosi. Sebenarnya  tanpa sandang dan papan, seseorang dapat bertahan hidup namun pasti akan dilabeli stereotip bahwa ia gelandangan dan walaupun waras ia akan dicap gila oleh karena berjalan-jalan tanpa memakai busana. Tapi saya rasa semua orang punya baju. Dan saat waktu-waktu seperti ini setiap orang juga perlu ruang untuk mengisolasi diri (papan).

Mari kita mencoba memikirkan apa yang dikatakan Pak Tius yang nampaknya bagai makan buah simalakama, “dimakan mati ibu, tidak dimakan mati bapak, kerja mati gara-gara korona, di rumah aja mati gara-gara kelaparan”. Lalu kita beralih ke apa yang dijawabnya tadi, “kecuali ada pasokan pangan di rumah”. Di sini letaknya, kata itu bukan dipakai sebagai sebuah alasan lagi untuk keluar namun sebagai alasan untuk tetap tinggal. Mengapa dan bagaimana caranya?

Jika jawaban dari pak Tius kita putar balik menjadi “kalau keluar saya nanti makannya apa, di luar tempat belanja pangan tutup, mending di rumah aja karna aku punya persediaan pangan plus lepas dari kejaran korona”.

Saya tambahkan juga sebagai kelanjutan jawaban dari Pak Tius yang mungkin secara implisit melahirkan solusi. Berangkat dari hasil bacaan buku “Agroliterasi” yang ditulis Irsan, seorang pustakawan, diterangkan bahwa sebagian besar kehidupan bertumpu pada alam. Sebab alamlah yang mampu membuat manusia bertahan, juga dibuat dan dibentuknya kultur agraris maupun agropolitan (dalam hal ini tersedianya fasilitas alat tani pada wilayah pertanian). Saat genting seperti ini kita bayangkan setiap orang di kota mempunyai lahan tani di sekitar rumahnya, atau kalau ingin pakai loteng maka disulapnya menjadi lahan tani, pun kalau telah dipenuhi tembok bisa dibuatkan media bertani seperti hidroponik.

Tapi perlu kita pikirkan juga harus ada pengetahuan terkait bercocok tanam (bisa diperoleh dari HP, TV dan lain-lain dalam konsep agroliterasi) dan dorongan serta penyediaan ruang untuk itu. Agak kompleks jika kita mau bahas hal teknisnya, namun di tengah pandemi ini salah satu langkah menghadapi kerentanan pangan dan krisis di masa wabah covid-19 adalah dengan bertani secara mandiri, yang nantinya memenuhi pasokan pangan.

Hal lain, dampak pandemi ini mendorong akselerasi atau varian atau gaya bertani baru. Jadi kultur yang berada di dalam dan di luar diri beserta kelompok masyarakat saat ini perlu berubah bentuk menuju cara hidup yang mandiri pangan. Mulai dari yang makan hasil di luar rumah menjadi makan dari hasil bertani di rumah sendiri. Agar kita semua bisa tetap bertahan hidup menghadapi badai Covid-19 juga sebagai ikhtiar untuk mendorong inovasi dan kreatifitas yang nampak solutif dalam hal pangan. Jadi seseorang akan tetap hidup di dalam rumahnya dengan aman dan nyaman.

Seperti di awal bahasan ini, kita tidak sedang membahas metamorfosis hewan, namun manusia. Dan saatnya manusia berevolusi dari yang bergantung dengan orang banyak (dan bantuan) menjadi mandiri. Satu hal yang penting untuk melakukan metamorfosis ini yakni dibutuhkan diri yang terus menjadi pembelajar agar terus-menerus adaptif menghadapi masalah kecil maupun besar.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *