Pandu Pemuda dalam Kultur Agraris

Berbagai sumber mengatakan Indonesia akan mengalami bonus demografi yang akan mempengaruhi beragam aspek. Salah satu bagian penting dari bonus demografi ini ialah peran pemuda dalam meningkatkan produktivitas dalam berbagai sektor.

Pemuda hari ini telah menunjukkan bagaimana ia mampu memberi kejutan terhadap ‘petahana’ dalam bidang bisnis dan teknologi. Karya yang ditunjukkan misalnya Nadiem Makarim melalui Go-Jek menjadi contoh nyata bagaimana anak muda membawa kekuatan baru yang berbasis digital. Cara baru yang sama sekali tak bisa diredam karena berhasil memberikan alternatif ekonomi bagi banyak orang. Sejumlah regulasi dan iklim usaha akhirnya justru beradaptasi, bahkan menggulung tikar para pelaku usaha yang selama ini memonopoli pasar.

Berbicara pemuda hari ini memang tak lagi sebatas angka dan pengalaman kerja, sebab sudah nampak berbeda di era digital saat ini. Generasi milenial mungkin tampak dinamis dan santai, tetapi acapkali bekerja produktif dalam ruang dan waktu yang informal.

Pola kerja anak muda jaman now ini justru menjadikan internet sebagai ruang sosial dan ladang kerja baru. Di antaranya, mungkin tak lagi ingin terlibat dalam organisasi pengembangan diri sebab menjumpai akses pengetahuan yang bisa diserapnya secara otodidak. Mereka tak lagi menghuni tempat yang permanen untuk berdiskusi dan berkreasi, sebab cukup mencari co-working space yang menyediakan akses internet sambil menyeruput kopi. Atau justru membikin komunitas virtual yang tak harus merasakan kopi darat. Karena itu, pemuda terutama yang ada di kota, punya dunia baru yang bisa dieksplorasi dan bisa melewati struktur konvensional yang selama ini bersifat prosedural kaku.

Itu soal di kota, tapi bagaimana dengan kultur desa (agraris) yang masih belum terjangkau internet secara merata?

Kemungkinan, pemuda yang ada di desa juga sudah banyak yang terpapar dengan internet. Namun masih cenderung mengakses internet untuk hiburan dan entertain karena pendampingan internet positif belum terlaksana dengan penuh perhatian di desa. Maka disamping tetap mendorong adanya pengembangan internet yang merata di pelosok desa, penting memulainya dengan mengenalkan internet sebagai peluang baru pemberdayaan masyarakat. Menjadikan internet sebagai bagian dari media literasi yang dapat mengembangkan keterampilan.

Berangkat dari perkembangan mutakhir ini, kita juga seharusnya mengajak para pemuda-pelajar yang sedang mengembangkan IPTEK mengambil peran. Mereka harus menyadari dirinya sebagai bagian dari pemuda, dengan membangun kolaborasi dengan pemuda (putus sekolah) di desa. Pemuda terpelajar ini tetap menjadi kawan dalam arti sesungguhnya, sekaligus rekan yang menginspirasi pengembangan potensinya.

Tak hanya pemuda dalam daerah, mereka yang juga sedang berguru di luar daerah diharapkan mampu berkonstribusi. Bukan saja melalui pengabdian masyarakat lewat KKN atau kegiatan organisasi kemahasiswaan yang berskala periodik, tapi termasuk secara mandiri melakukan riset dan inovasi teknologi untuk desanya. Jadi, kerja pemuda intelektual tak hanya terpaku pada seremoni, olahraga dan seni saat kembali ke kampung, juga berkemauan melakukan riset sederhana dan mencoba mengimplementasikan proyeknya yang diperoleh dari kelas-kelas pengetahuan dan ilmu teknologi tepat guna.

Tak sedikit pemuda Enrekang yang berada di luar daerah sebenarnya punya potensi yang dapat difasilitasi untuk diterapkan. Program serupa Indonesia Mengajar atau relawan pendidikan yang bergerak ke pelosok, bisa dijadikan contoh. Sembari mengajak para pelajar (mahasiswa) yang berlembaga mau betul-betul mematri karya untuk tanah Massenrempulu dengan melihat kebutuhan masyarakat. Cara kerjanya berbasis pada keberlanjutan, sehingga praktik pengetahuannya memberikan manfaat jangka panjang. Sebab pengetahuan yang dipraktikkan bersama masyarakat ini akan mudah diterima.

Agar peran-peran tersebut dapat berjalan secara terpadu, diperlukan pandu kepemudaan yang progresif. Ajakan ini bisa dioperasikan misalnya melalui lembaga pemerintah yang mengurus kepemudaan dan organisasi kepemudaan di daerah. Menyiapkan sinergi dalam berbagai program pelibatan pemuda sebagai subjek pembangunan kultur agraris. Memberi penyegaran akan makna kehadiran pemuda di sebuah desa. Bahkan, kita juga punya taruna-taruna desa yang mungkin menanti agenda terpadu dan sistemik untuk berkarya.

Sudah barang tentu, pemuda yang selama ini juga terstigma karena padanya pengangguran tertuju, mulai menemukan semangat manakala ia dipantik dalam ruang ‘pengisian’ dan pemberdayaan. Dengan catatan, struktur lembaga kepemudaan selayaknya diisi dengan semangat kekaryaan-kultural, bukan sekedar motivasi struktural dan populis. Tawaran pemuda untuk masuk dalam lembaga kepemudaan adalah berkarya, dengan visi yang siap diujicoba di medan kepemudaan. Paling tidak, representasi karakter kepemudaan dapat dimulai dari organisasi tersebut.

Kita sebenarnya sedang melihat eksistensi pemuda Enrekang pada lembaga eksekutif dan legislatif. Hal itu bahkan bisa dikatakan “bonus” untuk lebih menyentuh isu kepemudaan. Dan kita harap, perbincangan pemuda ini tidak berawal dan berakhir hanya ketika kita memperingati hari kepemudaan.

Tags:

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *