“Kepayahan” Pak Yan

 

“ Kamu suka Nasi goreng?”

Saya mengamati matanya yang bening. Ia terus menawarkan daftar makanan di papan kantin. Begitu tatapan kami bertumbukan,

“Teh manis saja Pak.” Saya menjatuhkan pandangan.

Pencatat makanan itu akhirnya berlalu meninggalkan saya dan Pak Yan, setelah matanya liar mengabsen wajah kami.

“kamu tidak perlu malu begitu, ini hanya makan siang.” Ucapnya santai saat menyadari saya merasa tak enak dipandang begitu.

Tetapi saya tetap tak berani berkutik dan tak leluasa bergerak. Bagaimana bisa merasa santai, bagaimana bisa merasa tak malu. Jika mahasiswi ingusan seperti saya, harus duduk berdua, satu meja dengan seorang Pak Yan. Dosen S2 terkenal di kampus ini.

“Meskipun saya dosen S2, dan kamu hanya seorang Mahasiswa, tak ada salahnya kan, kita makan siang bersama?”

Rupanya Pak Yan, menangkap kegelisahan dari mata saya. Dan saya masih memeluk kegelisahan berada di dekatnya, terlebih lagi, dilirik oleh banyak orang. Tetapi lama berlarut, ia mampu mencairkan bekunya keadaan. Di saat begitu, saya merasa ada hal yang entah mengapa membuat saya terus bertahan di dekatnya. Buktinya, ini panggilan ke dua yang saya penuhi dari beliau. Pertama, ke toko buku, kedua di kantin ini.

Meski banyak berita miring di Kampus soal hubungan gelap mahasiswi dan dosen, saya tak pernah merasa was-was berada di dekatnya. Teman-teman kelas saya juga tak ada yang tahu, jadi saya tak perlu risau.

Mungkin karena keramahannya saat itu ketika kami pertama kali bertemu.  Atau Lebih tepatnya dia yang berusaha menemukan saya. Meski tak lebih karena ada asas kebutuhan. Saat itu hujan deras, dan ia lupa membawa payung. Saya yang berlari kecil ke arah gedung fakultas dengan payung, rupanya disambut Pak Yan yang sedang menunggu di sana. Tergesa-gesa ia mencegahku menutup payung, mengambilnya tanpa permisi, dan menarik tanganku seketika untuk berjalan di sisi kirinya.

“Maaf ya, saya pinjam payungnya, sekalian pemiliknya.” Maka kami akhirnya berjalan di tengah hujan deras berdua, dan anehnya saya menurut saja. Ingin protes, tetapi kuanggap itu adalah bentuk pertolongan yang kuberikan kepada yang lebih tua, mestinya saya bangga. Di perjalanan itulah, pak Yan banyak bercerita, mengakrabkan diri. Soal kuliah, soal beasiswa, kehidupan, dan kerjaan. Ketika ia tahu saya mahasiswi jurusan bahasa asing, dengan fasihnya Ia beralih menggunakan bahasa asing itu untuk bercakap-cakap. Memberiku banyak nasehat dan tips belajar, bercerita ketika sekolah di negeri orang, sampai susahnya ia ketika menempuh kelulusan. Cerita-cerita yang kuanggap Sebagai pembukaan untuk mengakrabkan diri.

“Sebagai tanda terimakasih saya.”

Kata Pak Yan sambil menepuk uang 100 ribu ke telapak tanganku, begitu kami sampai di kantin.

“Jadi, Panggil saya Pak Yan ya, semoga kita bertemu lagi.”

Tanpa diduga, keesokannya ia menunggu lagi di depan kelasku, mengajak ke toko buku, saya menurut saja, bahkan hari ini, ke kantin, saya juga menurutinya.

***

“Oh ya, Setelah makan, kamu mau kan, temani saya ke Mall? ” ucapnya lembut, membuat lamunanku buyar. Saya berhenti menyedot es teh. Hal apalagi ini, mengapa pak Yan masih  terus ingin mengajak saya. Dan, mengapa saya tak kuasa menolaknya?

“Lihat, ada tas bagus, kamu mau?”

Tawarnya saat kami berjalan di pusat perbelanjaan. Saya tak bergeming. Tak tahu hendak menjawab apa.

“Saya baru gajian, anggap saja hadiah.”

Tanpa kutahu, tas yang harganya pasti mahal, sudah berada di tangannya.

“Untuk kamu.”

Kami kembali berjalan, tak jelas, ia menginginkan apa di sana. Seolah semua barang yang dilihat, ingin diberikan padaku.

“Baju?”

“Jam tangan?”

“Sepatu?”

Tanpa henti, Pak Yan menawarinya. Saya tak tahu apa yang ada dipikirannya. Sebegitu berharga kah bantuan yang kuberikan siang itu, Ojek payung? Sampai ia terlampau baik membalasnya?

“Pak, kita cari kebutuhan bapak saja. jangan hiraukan saya.”

Rasa tak enak hatiku sudah memuncak. Mendengarnya, ia tersenyum. Laki-laki yang berusia 40 tahun itu menerbangkan tatapan sumringah.

“Baiklah, Ayo.”

Satu paket perhiasan yang telah lama ia pilih berdasarkan pendapatku, akhirnya ia serahkan padaku di tempat itu juga.

“Spesial untuk adinda.”

“Hah? Ini?”

Anggukannya seperti menampar dan mengelusku bersamaan. Tak bahagia, tak sedih pula.  Yang pertama kali ada di benakku, malah sosok seorang Ayah. Yang sudah 9 tahun tak menemuiku dan Ibu, padahal terakhir berjanji akan membelikan gelang emas.

“Bukannya perempuan suka perhiasan?  Itu artinya, yang aku butuhkan, ya perhiasan.”

Tidak. Pak Yan salah, saya tak sama sekali menginginkan perhiasan. Tetapi, dengan ini, entah mengapa, pelupukku menjadi berat, terharu. Mengapa semua ini terasa indah, mengapa saya ingin selalu ada di dekatnya. Kurasa ini bukan soal kebahagiaan karena materi. Melainkan, karena haus kasih sayang dan naluri seorang anak perempuanku terpenuhi. Apakah Pak Yan memang dikirim untuk menggantikan Ayah? Meski utopia, tetapi saya sedikit bahagia telah berharap.

Kami kembali berjalan tanpa arah di tengah keramaian Mall. Tanpa kusdarai tangannya telah merengkuhku erat. Sesekali mengelus bahuku, kalau-kalau saya merasa gusar.

“Kamu bahagia kan?”

Tanpa kujawab, ia pun sebenarnya telah paham. Tetapi apa salahnya kujawab, apa salahnya kugambarkan betapa kebahagiaanku besar bersamanya.

“Iya Pak, Saya bahagia.”

“Ya, Saya tahu kok.”

Saya tersenyum. “itu artinya, Bapak tahu, bahwa bahagia saya ini  bukan karena semua yang Bapak belikan, bukan karena diajak jalan-jalan, dan berbagai alasan lainnya, iya kan?”

Kami seketika berhenti. Lebih tepatnya, pak Yan yang lebih dulu.

“Lalu?” dahinya mengkerutkan Tanya.

“Kau bahagia karena apa?”

Tatapannya masih sama, teduh, menembus hati saya yang kosong akan lorong-lorong kasih sayang dari Seorang Ayah.

“Saya, merasa seperti memiliki seorang Ayah, berada di dekat Bapak, diperlakukan begini, saya…”

“Kau, menganggap ku Ayah?”

Akan tetapi Mata Pak Yan, secepat kilat berubah. Mengisyaratkan sebuah Tanya yang besar, yang begitu heran, dan seolah ingin meledak-ledak Jika tak kujawab.

“Iya, Pak, Saya…”

Mataku secepat pula telah berlinang, Pak Yan tak bergeming menatapku. Tatapan itu malah semakin menakutkan. Tetapi saya coba untuk terus berterus terang.

“Saya, merindukan sosok seorang Ayah, dan, bukankah Bapak mengetahui itu?”

Di dekatku, setelah lama menatapku diam, dengan penuh kebencian, Pak Yan akhirnya menerbangkan tatapannya liar dan setelahnya hanyalah diam.

 

****

Saya pun tetap diam. Berjalan siang ini di tengah hujan deras, dan mengganggam payung kesayangan. Pak Yan kembali terkenang. Tetapi tak lebih dari sekedar pengalaman belajarku.

Pertemuan itu kuanggap Sebagai pembelajaran berharga, bahwa kasih sayang memang mudah untuk tumbuh di hati, tetapi jika ia tak kuat sedari akar, mudah sekali bagi angin untuk menerbangkannya.

Sejak kejadian di Mall itu, Pak Yan seolah telah menepuk hayalanku selama beberapa hari belakangan ini dengan kata-kata yang tak terduga. Ia menyadarkan saya, Bahwa kebersamaan dengan orang asing yang mendadak manis, mengandung sebuah tafsir di baliknya. Dan orang boleh saja menafsirkannya dengan cara berbeda. Seperti saya dan Pak Yan yang salah menafsirkan.

“Kata siapa selama ini aku berperan untuk menjadi Ayahmu? Aku tidak pernah berpikiran sampai ke sana.” kata Pak Yan sebelum mengantarku pulang malam itu.

“Oh, Maaf Pak. Saya pikir…”

“Tidak usah kamu pikirkan lagi, anggap saja semua telah berlalu. Anggap saja ini semua hanyalah kepayahan mu saja.”

Sudah. Sejak saat itu tak ada lagi pertemuan.

Sejenak saya menyesal, mengapa begitu mudah meletakkan perasaan lebih dulu ketimbang Akal sehat. Meski di beberapa peristiwa terkadang perasaan lebih banyak mengambil peran, tetapi Ia seringkali tak mampu membuka secara sehat mana yang benar dan keliru.

Bukankah Pak Yan memang hanya orang lain? Pak Yan memang bukanlah Ayah saya? Ayah dan Anak memiliki kasih sayang yang kokoh. Jika ia menganggap saya seorang putrinya, tak mungkin lidahnya begitu lincah bersilat menyakiti hati anaknya. Rupanya benar,  tak mudah mengambil hak kepemilikan begitu saja.

Pluk !!!

Sepatuku  mendadak basah. Padahal saya hampir sampai di kelas. Kuturunkan payung, hendak melipatnya.

Di sebelah, temanku Putri sedang melipat payungnya juga, Pak Yan datang mencegahnya, mengatakan sesuatu sayup-sayup dengan keramahan yang kuanggap dibuat-buat. Saya memutar langkah melewati koridor, dari jauh, kulihat Pak Yan telah menumpangi payung putri, berjalan ke arah kantin bersama-sama. Kuharap, itu bukan lagi kepayahan yang sama.

 

 

 

 

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *